Setiap pagi dimulai dengan perasaan lelah, meski malam telah dilalui dalam diam. Tubuh mungkin tertidur, tapi pikiran terus berjaga, berputar-putar dalam labirin yang sama—mengenang hal-hal yang seharusnya sudah lewat, tapi tak pernah benar-benar pergi.


Mimpi itu bukan tentang kegelapan, bukan juga tentang teriakan atau kejar-kejaran dengan bayangan. Justru sebaliknya. Mimpi itu tenang, nyaris biasa, seperti cuplikan kehidupan sehari-hari yang tampak sederhana: suara telepon yang tidak dijawab, percakapan yang diakhiri dengan nada datar, pesan yang tak pernah dibalas. Tapi setiap detailnya menyimpan luka yang tak terlihat, tajam seperti pisau tumpul yang terus menggores di tempat yang sama.


Ada seseorang di sana, dalam mimpi itu. Duduk di seberang meja, berbicara tanpa suara, menatap dengan mata yang tak lagi percaya. Setiap gerak tubuhnya membawa makna, setiap diamnya memekakkan telinga. Dan di akhir mimpi, selalu ada jeda—sebuah momen saat segalanya bisa diperbaiki, tapi tidak dilakukan. Hanya diam. Dan pergi.


Itu yang paling menyakitkan: kesadaran bahwa semuanya tidak berakhir karena ledakan emosi atau peristiwa besar, tapi karena kelelahan yang tak pernah diakui, karena terlalu lama membiarkan yang penting terasa biasa saja.


Sudah bertahun-tahun, tapi mimpi itu tetap datang. Waktunya acak, kadang seminggu penuh, kadang hilang berminggu-minggu. Tapi ia selalu kembali, dengan bentuk yang sama, rasa yang sama, dan keheningan yang menggantung di akhir. Membangunkan tubuh di tengah malam, meninggalkan dada yang sesak dan pikiran yang berantakan.


Mungkin itulah hukuman paling halus—bukan kehilangan, tapi terus dihadapkan pada versi yang seharusnya bisa diselamatkan, tapi dibiarkan pergi.


Mimpi buruk yang tidak menakutkan. Tapi menyesakkan. Dan terus berulang.