Ada satu pertanyaan yang tidak pernah bisa hilang dari kepala-ku:
"Kenapa dia masih ada di pikiranku?"
Aku sudah tidak menatap matanya lagi. Sudah tidak mendengar suaranya. Tidak ada pesan, tidak ada sapaan, bahkan tidak ada alasan. Tapi anehnya, dia tetap ada—mengendap dalam sunyi, muncul di sela-sela mimpi, dan terkadang di detak jantung yang tiba-tiba terasa berat.
Aku pernah berpikir cinta itu manis. Ternyata cinta pertama di pulau ini, tidak semanis yang mereka katakan. Dia adalah badai pertama dalam hidupku yang membuatku mengerti: dunia ini terlalu berantakan untukku—seseorang yang baru pertama kali jatuh cinta di pulau ini.
Mungkin salahku karena terlalu berharap. Mungkin salah waktu. Atau mungkin, cinta itu memang tidak selalu harus dimiliki. Tapi yang paling sulit adalah menerima bahwa dia sudah bukan bagian dari hariku, sementara dia masih menjadi isi kepalaku.
Malam ini, aku hanya bisa menulis—menuliskan apa yang tidak bisa aku ucapkan. Mencoba meredakan sesak yang belum juga sembuh. Mencoba berdamai dengan kenangan yang terus datang, meski pintunya sudah kututup rapat-rapat.
Tapi mungkin, Beberapa kenangan memang diciptakan untuk tinggal. Bukan untuk dilupakan.
"Untuk dia yang tidak tahu, aku pernah mencintaimu di pulau ini, dengan seluruh hatiku yang pertama kali mengenal cinta di pualu ini".
